Beritaazam, Jakarta – Restorative justice untuk perkara tindak pidana korupsi diusulkan Johanis Tanak saat terpilih sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pada saat mengikuti fit and proper test di ruang rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Rabu, 28 September 2022, Johanis menyebut dia belum tahu apakah usulannya itu bakal diterima atau tidak.
“Kemudian saya mencoba berpikir untuk RJ (restorative justice) terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi, restorative justice, tetapi apakah mungkin yang saya pikirkan itu dapat diterima, saya juga belum tahu. Harapan saya dapat diterima,” ujar Johanis.
Dilansir Kompas.com, Johanis Tanak menilai, restorative justice bisa diterapkan terhadap koruptor. Usulannya ini dapat dilakukan, kata dia, meskipun Pasal 4 dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatakan bahwa apabila ditemukan adanya kerugian keuangan negara, tidak menghapus proses tindak pidana korupsi. Namun, Johanis akan mencoba menerapkan restorative justice dalam korupsi dengan menggunakan UU Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Di mana, apabila BPK menemukan suatu kerugian keuangan negara, maka BPK akan memberikan kesempatan selama 60 hari kepada yang diduga melakukan kerugian keuangan negara untuk mengembalikkan kerugian negara,” tutur dia.
Johanis mengatakan, dengan kembalinya uang negara, artinya pembangunan dapat berlanjut. Walau demikian, si terduga pelaku tindak pidana sudah melakukan satu perbuatan yang menghambat pelaksanaan proses pembangunan.
“Kalau saya boleh mengilustrasikan, kalau saya pinjam uang di bank, maka saya akan dikenakan bunga. Kemudian ketika saya melakukan penyimpangan, maka saya dapat dikenakan denda. Jadi selain membayar bunga, membayar denda juga,” kata Johanis.
Dengan demikian, ketika ada orang yang melakukan tindak pidana korupsi, Johanis berharap pelaku itu mau mengembalikkan uang yang diambil. Sang pelaku, kata Johanis, juga dikenakan denda. Johanis mencontohkan, jika pelaku merugikan negara Rp 10 juta, maka orang tersebut harus mengembalikan uang kepada negara sebesar Rp 20 juta.
“Begitu juga pak ketika penindakan. Jadi restorative justice ini ketika sudah ada restorative justice, dia bisa mengembalikan, kita tidak proses. Tapi mengembalikan tidak sejumlah yang dikorupsi, tetapi 2 kali lipat atau 3 kali lipat dia mengembalikan,” kata dia.
“Maka tidak perlu diproses secara hukum. Karena ketika dia diproses secara hukum, seperti yang saya sampaikan tadi, maka kerugian keuangan negara akan bertambah, bukan berkurang,” ujar Johanis.
Ditemui terpisah selepas menjalani fit and proper test test, Johanis Tanak menyinggung kasus yang pernah menjerat Mike Tyson. Menurut dia, Mike Tyson pernah dipenjara. Namun, di akhir masa penahanannya, Mike Tyson membayar denda yang membuatnya kapok.
“Sebelum habis masa hukuman, dia membayar kepada negara. Setelah dia membayar kepada negara, dia bebas. Setelah bebas dia takut melakukan perbuatan kejahatan lagi karena, ‘Capek saya cari duit. Saya ditangkap hanya untuk bayar-bayar lagi,” kata dia.
Maka dari itu, Johanis menilai, penerapan denda dalam restorative justice terhadap koruptor bisa membuat mereka jera.*